Dewi Cinta

Ini adalah cerita pendek yang di buat leh Sarah Permatasari, untuk memenuhi nilai tugas Bahasa Indonesia.
Sedikit cerita tntg Sarah. Dia itu pendiem, tapi kalo kata Rina 'kalo udah deket sama sarah dia ngga diem kok' begituu. Terus, seneng deh punya temen yang suka ngepst cerita di blog juga. Iya, sarah itu pinter melukiskan katakata #eaa. DIa punya blog, tapi aku lupa websitenya apa. nanti deyy di post, hahaa.

Sooo let's read this shrt story..

Dewi Cinta

Kembali, dia datang lebih awal. Atau lebih tepatnya aku datang lebih lama daripadanya, entah lebih lama lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit atau bahkan satu jam. Kelas ini seharusnya dipasang cctv agar aku tahu jadwal Venus tiba dan sesekali datang lebih cepat darinya. Venus, seorang gadis berpenampilan sederhana. Ia adalah sosok pendiam bagi mereka yang tidak mengerti, tapi tidak bagiku. Ia jenis pribadi yang tertutup, jadi wajar orang-orang menilainya dengan pendapat yang berbeda-beda, walau tak satupun sesuai dengan keadaan Venus yang sebenarnya. Aku mengetahui Venus hampir segalanya karena kami sangat akrab satu sama lain. Aku mengetahui segalanya. Segalanya. Kecuali pria yang mengisi hatinya...
“VENUS JANGAN BENGONG!” kataku heboh dengan niat mengagetinya. Karena sebelum masuk kelas ini aku melihatnya memandang ke satu titik di depan matanya tanpa melakukan sesuatu. Venus melirikku tanpa ekspresi kegagetan sedikitpun. Niatku gagal karena aku sekarang tahu dia tidak sedang melamun.
“Mau ngagetin gagal ya, mbak?” Aku terkekeh dengan jawaban Venus lalu segera duduk disampingnya.
“Aku kira kamu lagi ngelamun.” Jawabku singkat.
“Aku emang lagi ngelamun. Kamu tahu gak definisi ngelamun itu apa?” pertanyaan Venus membuatku berfikir keras.
“Pikiran kosong?” tanyaku.
“Bukan, Haras. Melamun, diambil dari kata “lamun” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya termenung sambil pikiran melayang ke mana-mana. Aku sekarang paham, Ras, kalo aku memang pelamun. Hampir setiap detik pikiranku terbang melayang, entah kemana. Aku kadang berfikir tentang hal-hal biasa yang menurutku janggal, seperti...” Venus menghentikan bicaranya beberapa saat sebelum kembali melanjutkan dengan suara lebih diperkecil, “kenapa ya cerita fantasi tentang cinta waktu kita kecil itu pengakhirannya selalu bahagia?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan Venus. Manusia macam apa yang akan bertanya tentang hal seperti itu? Wahai Venus sang dewi cinta, seperti arti namamu, wajarkah anak kecil seperti kita dulu disuguhi cerita fantasi tentang cinta yang berakhiran tidak bahagia? Tidak Venus, tidak. Akhiran bahagia itu tentulah sangat cocok untuk anak kecil seperti kita dulu yang tidak mengerti apa artinya patah hati. Sekarang pikiranku yang beradu mendengar pertanyaan Venus selanjutnya.
“Haras, kamu tahu kan Cinderella itu cantik?” Aku mengangguk untuk pertanyaannya yang di luar jangkauanku.


“Kamu juga tahu kan Putri Salju, Putri Tidur, Putri Duyung, atau Belle dari film Beauty and The Beast  itu semuanya cantik?” tanyanya kembali, membuatku mengangguk lebih antusias seolah itu adalah pertanyaan tersulit seumur hidupku.
“Dan juga baik hati.” Aku menambahkan. Tak ingin ada pertanyaan yang lebih sulit lagi.
“Sempurna. Sangat sempurna untuk menggambarkan tokoh utama yang dicinta, bukan? Dan kita semua waktu kecil nonton mereka! Haras, kamu tahu gak itu ngajarin kita untuk menilai seseorang lewat kesempurnaannya terutama di bagian fisik, atau parasnya, padahal tidak semua orang tidak memiliki kesempurnaan seperti itu. Sekarang kamu lihat di mana-mana orang lebih menilai yang lainnya lewat kesempurnaan itu. Dia yang cantik bisa menjadi sosok idola dan kegaguman dibanding dia yang hanya baik hati. Coba, sekarang kamu ingat-ingat lagi, ada gak salah satu tokoh dari cerita fantasi itu yang parasnya tidak sempurna atau bahkan jelek kalo bukan ibu tiri, kakak tiri atau penyihir?”
Venus memang gila. Pertanyaannya penuh sanggahan pada semua cerita fantasi yang sudah turun temurun dikenal dari zaman nenek moyang. Tapi aku menyetujui pendapatnya karena setahuku juga tidak ada satu pun tokoh protagonis dari cerita-cerita fantasi itu yang tidak memiliki kesempurnaan terutama pada bagian fisiknya, kecuali...
“Beauty and The Beast! Ven, kamu gak ingat? ‘beast’, si buruk rupa! Bukankah dia juga tokoh utama dalam cerita itu?” Aku mencoba menyanggah salah satu pernyataan Venus.
“Ah.” Jawab Venus yang membuatku mati tak bergairah. Ia melanjutkan, “Beast  itu tokoh pria. Justru ini yang ingin aku bahas sama kamu. Cinderella yang cantik jelita bertemu pangerannya yang juga sangat tampan. Ariel si putri duyung yang luar biasa indah juga bertemu dengan pangerannya yang tak kalah indah. Dan siapa tadi yang kamu bilang? Beast? Ia buruk rupa tetapi ia berhasil mendapatkan Belle yang digambarkan sempurna. Apakah artinya cerita tersebut menggambarkan bahwa semua pria, baik yang tampan ataupun yang buruk rupa, hanya ingin mendapatkan wanita dengan paras sempurna? Lalu mengapa tidak ada salah satu cerita dari kumpulan fantasi tersebut yang menggambarkan bahwa wanita yang tidak berparas sempurna juga diinginkan bahkan oleh pria sangat tampan sekalipun?”
Venus berbicara panjang lebar. Sampai beberapa lama aku belum bisa menemukan poin yang ingin ia sampaikan. Salah satu yang kutangkap adalah bahwa ia tidak setuju dengan jalan cerita fantasi tentang cinta tersebut. Venus tak lagi berbicara. Ia kembali menatap lurus satu titik di depannya tanpa melakukan apa pun. Aku mengartikannya bahwa Venus memberiku kesempatan untuk berfikir mengenai perkataannya. Sampai aku sadar bahwa Venus jatuh cinta pada seorang pria tampan tetapi ia terlalu rendah diri sampai ia menyamakan dirinya dengan ‘wanita yang tidak berparas sempurna’ dan tidak diinginkan oleh ‘pria sangat tampan’ di sana.
***
Di siang sepulang sekolah, hujan mengguyur membuat kami lebih lama menetap di sekolah. Di tengah suara hujan yang aku sukai, Venus menceritakan apa yang ingin ia ceritakan kepadaku. Hal yang selalu aku nantikan adalah saat Venus bercerita tentang pria yang dicintanya.
Di pinggir koridor ini kami duduk dan Venus mengode ku agar mengikuti arah matanya. Ia menatap tajam sesosok pria manis, tinggi, dan berkulit sawo matang tepat berdiri di depan matanya. Dengan jarak tiga meter aku dapat mengenali bahwa pria tersebut adalah siswa kelas sebelah. Venus menoleh ke arahku dengan ekspresi seakan meminta petunjuk dariku. Tapi aku hanya berkata padanya, “selamat jatuh cinta.”
Hujan yang semakin deras mulai menggenangi sekolah kami, seperti perasaan cinta Venus yang sudah banjir sejak berbulan-bulan yang lalu. Venus kembali menatap pria itu yang kini semakin jauh dari penglihatan kami sampai sosoknya kian hilang ditelan hujan. Venus menunjukkan bahwa tidak ada hal lain yang dapat dilakukan untuk memanjakan hatinya selain memandangi pria yang dicintanya itu dari jarak jauh. Dan ia sudah cukup puas karenanya.
***
Siapa perempuan di bola matamu
Yang engkau mati terpesona karenanya?
Aku mendambamu di sini
Aku harap kamu tahu aku ada

Aku menemukan bait tersebut di buku catatan Venus dan aku menyadari ia benar-benar jatuh cinta. Venus tidak pernah berkata padaku bahwa cintanya sudah terlalu dalam. Bahkan ia mengatakan ia berniat melupakannya pada perbincangan kami terakhir kali.
“Biarlah aku berkonsentrasi dengan yang lain. Biarlah. Toh cerita fantasi tentang cinta itu terbagi dua tentang kebenarannya. Ia benar bahwa setiap pria memang menginginkan wanita cantik dan sempurna. Dan ia salah bahwa tidak selalu terjadi akhir yang bahagia dalam setiap cerita cinta.”
Saat itu aku meresponnya dengan pertanyaan, “kamu merasa dirimu tidak cantik dan sempurna, Venus?”
“Sangat jauh dari sempurna.” Venus meyakinkan.
“Kamu sok tau, Venus. Kamu adalah sosok sempurna bagi seseorang di luar sana yang sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya segalanya padamu.” Kataku sebelum Venus kembali diam dan pergi untuk menyendiri.
***
Hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Venus. Seharian ia bekutat pada tugas sekolah yang kemarin ia tunda. Venus berjalan pulang sendirian menyusuri koridor sekolah menuju gerbang sekolahnya. Seperti biasa, ia melewati satu sudut parkiran di mana pria yang dicintanya sering memarkirkan motornya. Tetapi terlambat untuk hari itu. Sudah terlalu sore, jadi mungkin pria itu sudah pulang entah sejak kapan. Setelah keluar pintu gerbang sekolah ia mempercepat langkahnya agar cepat kembali ke rumah dan beristirahat. Di tempat ia menunggu angkutan umum, pundaknya ditepuk seseorang di belakang.
“Tali sepatunya lepas, tuh.” Kata pria yang ia kenal suaranya. Venus menoleh ke belakang dan menemukan Argoza memandangnya.
“Mau diiketin?” Argoza kembali bersuara sebelum Venus mengeluarkan suara. Ia masih salah tingkah menyadari kehadiran pria yang berdiri di depannya itu.
“Argoza. Anak sebelah kelasan lo. Tau kan? Orang kita sering papasan, kok. Gak mungkin lo gak tau gue.” Argoza kembali berbicara karena tidak ada jawaban sedikitpun dari Venus.
daan salah tingkah, ia memandang Aragoza. Pria yang dicintanya berdiri di depannya. Lewat puisi, Aragoza menyampaikan hal serupa yang dirasakan juga Venus. Dari bibir Venus terbentuk sebuah senyum. Akhiran berbahagia seperti cerita fantasi waktu ia kecil bukan sebuah omong kosong. Bahkan kini, Venus, sang dewi cinta, membuat cerita cintanya sendiri. Kembali ia membaca secarik puisi dari dambaan hatinya itu.
Hari ke hari aku menantimu untuk tersenyum kepadaku
namun hanya punggung yang kuperoleh saat ku memandangmu
tak maukah kamu melihat refleksimu di bola mataku?
Venus, jika kamu sang dewi cinta, jadikanlah aku dewa cintamu...

...................................................................................................................................................................................

Bagussss kaaan cerita pendeknyaa. aku suka bangeet. Apalagi filossofi dari kesempurnaan seorang princess.
Di dunia ini itu ngga ada yang sempurna, kalo mau nyari yang sempurna pacarin aja tuh princess or barbie #yeaa

Comments

Popular posts from this blog

Aku, Dia, Kamu